22 Oktober 2025
https://sinopsisfilm.org/

sinopsisfilm.org – Troll 2 bukanlah sekuel sejati dari film Troll (1986), tetapi karena strategi pemasaran, nama “Troll” dihilangkan dan diganti menjadi “Troll 2”. Film ini kemudian mendapatkan reputasi luar biasa — bukan karena kualitasnya yang bagus, melainkan karena kualitasnya yang amat buruk hingga menjadi pengalaman menonton yang unik dan menarik. Artikel ini akan menggali: latar belakang produksi film, sinopsis, mengapa film ini menjadi “terburuk” namun juga kultus, serta warisan dan pengaruhnya hingga hari ini.


Latar Belakang Produksi

Film ini disutradarai oleh Claudio Fragasso (menggunakan nama pena “Drake Floyd”) dan ditulis bersama istrinya Rossella Drudi. Meski memproduseri sebuah film berbasis Inggris dan Amerika secara visual, produksi film ini dilakukan oleh tim Italia yang nyaris tidak menguasai bahasa Inggris — sedangkan sebagian besar aktor adalah penutur asli Inggris. Hal ini menciptakan banyak kekacauan dalam naskah, dialog, dan komunikasi di lokasi syuting.

Awalnya film ini diberi judul Goblins, alih-alih Troll 2. Namun distributor Amerika merasa bahwa memanfaatkan nama “Troll” bisa lebih mendatangkan penonton. “Nilbog” — nama kota dalam film — adalah “goblin” dibalik huruf.

Syuting dilakukan di Utah (Amerika Serikat), termasuk kota Morgan dan Porterville, di musim panas tahun 1989. Meski berlokasi di AS, banyak anggota kru adalah orang Italia yang kurang memahami bahasa dan budaya setempat, sehingga produksi mengalami tantangan besar. Dengan anggaran sangat terbatas (sekitar US$100.000) dan dampak produksi minimal, film ini menjadi studi kasus bagaimana film bisa dibuat dalam kondisi ekstrem.


Sinopsis

Keluarga Waits memutuskan untuk melakukan program pertukaran rumah dan menghabiskan liburan mereka di kota kecil bernama Nilbog (yang ternyata “goblin” dibalik huruf). Sebelum pergi, Joshua Waits (anak laki-laki) dikunjungi oleh arwah kakeknya, Seth, yang memperingatkan bahwa kota itu dihuni oleh goblin vegetarian yang mengubah manusia menjadi tanaman agar kemudian mereka bisa memakan “hati” atau daging manusia yang telah berubah menjadi sayuran.

Setibanya di Nilbog, keluarga Waits disambut keluarganya yang tampak ramah, tetapi keadaan segera berubah gelap. Banyak adegan absurd: tembakan dengan senjata yang tak jelas, transformasi manusia menjadi tanaman, goblin-goblin yang tampak seperti robo-kostum murah, hingga adegan-adegan dialog yang begitu aneh hingga jadi meme. Salah satu adegan paling terkenal: Arnold yang menjerit, “They’re eating her… and then they’re going to eat me… OH MY GOD!”

Menurut Wikipedia, film ini menampilkan premis yang unik namun dijalankan dengan cara yang nyaris tanpa logika, menghasilkan pengalaman menonton yang “so bad it’s good”.


Kenapa Film Ini Dianggap “Terburuk”

Beberapa hal yang paling sering disebut ketika membahas Troll 2:

  • Dialog dan naskah yang sarat kesalahan tata bahasa dan logika — akibat hambatan bahasa dan komunikasi kru.

  • Akting yang sangat tidak profesional: banyak aktor adalah warga lokal tanpa pengalaman penting ataupun profesional. Salah satu pemeran utama, George Hardy, sebenarnya adalah seorang dokter gigi yang mencoba audisi secara kebetulan.

  • Kostum dan efek yang sangat murah — goblin memakai kostum kasar dan make-up yang terlihat amat-amat murah.

  • Plot yang absurd: goblin vegetarian yang mengubah manusia jadi tanaman, kota bernama Nilbog (“goblin” terbalik), dan ide-ide seperti sandwich bologna ganda sebagai senjata rahasia.

  • Judul yang menyesatkan: meskipun disebut Troll 2, film ini sama sekali tidak menampilkan troll dan tidak ada hubungan naratif dengan film Troll (1986).

Akibat semua itu, saat rilis film ini hampir tidak mendapat penerimaan yang baik dari kritikus atau audiens mainstream — misalnya, Rotten Tomatoes mencatat rating rendah sekitar 13% bagi film ini.


Transformasi Menjadi Film Kultus

Ironisnya, ke “burukan”-an film ini justru membawa keunikan yang menyebabkan film ini punya tempat khusus dalam budaya film. Beberapa faktor:

  • Penayangan ulang dengan konsep “midnight screening” dan pemutaran fan-event—penonton rela datang dengan kostum, mengejek, menyapa adegan-terkenal bersama, serupa ritual film kultus seperti The Rocky Horror Picture Show.

  • Dokumenter yang dibikin oleh pemeran utama—Michael Stephenson, yang berperan sebagai Joshua, kemudian menjadi sutradara dokumenter Best Worst Movie (2009) yang mengangkat kisah di balik layar Troll 2.

  • Meme Internet dan kutipan kutipan yang menjadi bahan olokan dan kegembiraan—contoh “Oh my God!”, “Double-decker bologna sandwich”, “No trolls, only goblins” menjadi bagian dari jargon penggemar film buruk.

  • Status “film terbaik yang terburuk” membuatnya disukai bukan karena kualitas tradisionalnya, tetapi karena kejujuran dan keanehan yang membuat penonton merasa ikut serta dalam pengalaman unik.


Analisis Tema & Warisan

Walaupun secara teknis film ini memiliki banyak kekurangan, ada beberapa aspek menarik yang bisa dibahas:

Humor tak disengaja dan ironis

Fragasso dan Drudi menyatakan bahwa niat mereka termasuk untuk menciptakan parodi atau film yang agak absurd—meskipun banyak pihak menilai bahwa aspek komedik tersebut tidak disengaja. Elemen-elemen seperti goblin vegetarian dan transformasi manusia jadi tanaman adalah satir terhadap tema horror klasik (vampir, makhluk makan manusia) namun dijalankan secara sangat kacau sehingga hasilnya menjadi komedi tak sengaja.

Produksi low-budget sebagai kekuatan

Keterbatasan anggaran, tim yang tidak profesional, dialog kacau ternyata justru membuat film punya aura keaslian—penggemar film kultus sering menyebut bahwa “keterbatasan yang jujur” menghasilkan daya tarik tersendiri. Film ini menjadi contoh bahwa budaya film bukan hanya soal kualitas tinggi, melainkan pengalaman ikut serta dalam keanehan.

Hubungan antara kegagalan dan apresiasi

Troll 2 menunjukkan bahwa “kegagalannya” dalam elemen tradisional film justru memungkinkan ia untuk menemukan audiens alternatif—orang-orang yang mencari pengalaman film yang berbeda, yang bisa dinikmati dalam konteks kumpul bareng, ejekan bersama, dan ritual komunitas. Warisan film ini jauh melampaui angka box-office atau kritik saat rilis.


Reaksi Kritikus & Penerimaan Publik

Saat dirilis, kritik terhadap film ini sangat buruk — naskah disebut “bodoh”, akting “kaku”, efek “tertawa”. Contohnya review dari Chicago Reader:

“The script is stupid, the acting is wooden, the special effects are laughable…” 
Namun dari sisi publik, terutama lewat komunitas daring, penerimaan berbeda: film ini dinilai “so bad it’s good” dan terus diputar dalam event khusus. Popularitasnya meningkat lewat internet dan komunitas fans film buruk.


Warisan & Pengaruh ke Budaya Populer

  • Banyak screening khusus Nilbog Invasion di kota Morgan, Utah (tempat syuting) yang mempertemukan penggemar dari seluruh dunia.

  • Film ini menjadi studi kasus dalam banyak artikel dan dokumenter tentang film kultus, “film terburuk yang baik”, dan bagaimana penonton menanggapi film secara berbeda dari kritikus.

  • Kutipan dan adegan-terkenal terus dijadikan referensi di forum film, meme dan jaringan sosial—menjadikan Troll 2 bagian dari leksikon budaya pop film rendah anggaran.


Kenapa Kamu Harus Menonton (atau Setidaknya Tahu)

  • Sebagai contoh ekstrem dari “film buruk”, Troll 2 memberi pelajaran menarik tentang produksi film, ekspektasi penonton, dan bagaimana sebuah film bisa mendapatkan kehidupan kedua melalui budayanya sendiri.

  • Menonton versi original atau versi event kultus bisa menjadi pengalaman kumpul yang unik—tinggal siapin popcorn dan teman yang bisa ikut tertawa geli bersama.

  • Anda akan mendapatkan kutipan-legendaris yang mungkin akan muncul kembali di culture hacking film, dan memahami kenapa “terburuk” bisa punya daya tarik yang kuat.

Troll 2 bisa dibilang bukan film yang “bagus” dalam arti tradisional—namun dalam hal “kultus”, “fenomena”, dan “pengalaman komunitas”, film ini luar biasa. Dari produksi kacau, plot absurd, hingga transformasi menjadi ritual penggemar film buruk—Troll 2 menunjukkan bahwa film punya banyak jalan menuju relevansi dan keabadian. Ia bukan film yang direkomendasikan karena sinematografi atau aktingnya — tetapi karena ia menjadi bagian dari budaya film alternatif, menunjukkan bahwa hiburan bukan hanya soal “bagus”, tetapi soal mengalami sesuatu bersama.

Bagi penggemar film unik, pengamat budaya populer, atau penonton yang ingin pengalaman nonton yang berbeda—Troll 2 adalah nama yang wajib diketahui. Dan jika Anda menonton, bersiaplah untuk tertawa, bertanya “kenapa ini dibuat?”, dan mungkin ikut berseru: “Oh my Goood!”