sinopsisfilmDi tengah arus film fiksi ilmiah yang makin penuh efek CGI dan aksi bombastis, The Kitchen (2023) hadir dengan pendekatan berbeda: membumi, sunyi, dan menghantam rasa. Film ini bukan soal ledakan atau alien. Ini tentang manusia yang terlupakan, komunitas yang di rampas, dan masa depan yang terasa sangat mungkin terjadi—terutama bagi mereka yang tinggal di pinggiran sistem. Di sutradarai oleh aktor peraih Oscar Daniel Kaluuya bersama Kibwe Tavares, The Kitchen adalah gambaran suram namun jujur tentang apa yang bisa terjadi ketika sistem menyingkirkan manusia demi pembangunan. Berlatar di London masa depan, tempat perumahan sosial telah sepenuhnya dihapus, film ini menceritakan kisah dua jiwa yang terjebak dalam kekacauan: Izi dan Benji.

The Kitchen (2023) | Rotten Tomatoes


London Tanpa Rumah: Dunia Masa Depan yang Mengintimidasi

The Kitchen memperkenalkan kita pada sebuah London yang tak lagi mengenal sisi manusianya. Perumahan sosial—yang di dunia nyata sering menjadi benteng terakhir bagi masyarakat berpenghasilan rendah—telah dihapuskan. Akibatnya, komunitas marjinal tersingkir dan tinggal di lingkungan padat, kumuh, dan dilabeli “The Kitchen.”

The Kitchen bukan hanya nama wilayah, tapi simbol perlawanan. Sebuah tempat penuh graffiti, beton, dan semangat bertahan hidup. Satu-satunya tempat tersisa bagi mereka yang ditolak oleh sistem. Kamera Tavares dan Kaluuya menangkap setiap sudut wilayah ini seperti potret dokumenter: gelap, sempit, namun hidup.


Izi dan Benji: Dua Generasi, Satu Luka

Izi (di perankan oleh Kane Robinson) adalah pria dewasa yang bekerja di rumah duka. Ia bukan pahlawan, bukan juga pecundang. Ia hanya manusia biasa yang ingin pergi dari The Kitchen demi kehidupan yang lebih tenang dan stabil. Namun rencananya berubah saat ia bertemu Benji (di perankan oleh Jedaiah Bannerman), bocah yatim piatu yang keras kepala, lugu, dan penuh luka.

Hubungan keduanya tidak langsung akrab. Izi menolak terlibat. Tapi perlahan, dalam diam, mereka membentuk ikatan yang lebih kuat daripada darah. Di balik kota yang mati rasa, mereka adalah dua manusia yang masih ingin merasa.


Perlawanan Tanpa Spanduk: Kekerasan Sistemik dan Harapan yang Kecil

Kaluuya tidak menghadirkan revolusi dalam bentuk parade atau pidato. Perlawanan dalam The Kitchen terjadi secara senyap: saat sekelompok anak muda menyelundupkan logistik, saat warga menyalakan lampu komunitas, atau ketika satu bangunan menolak di bongkar paksa oleh pemerintah.

Konflik memuncak ketika pihak berwenang datang membongkar gedung London, dan warga The Kitchen menolak pergi. Bukan karena mereka tidak punya tempat lain—melainkan karena inilah satu-satunya tempat di dunia yang menerima mereka apa adanya. Film ini tidak memilih untuk menyelamatkan semua orang. Justru banyak tokoh sampingan yang tumbang, di gilas sistem, dan tak kembali.


Visual yang Tegas, Musik yang Menyayat

Secara sinematografi, The Kitchen adalah lukisan distopia. Warna-warna pucat dan pencahayaan redup memperkuat atmosfer mencekam dan penuh tekanan. Gaya visualnya menyerupai gabungan antara Children of Men dan District 9, dengan sentuhan estetika urban Inggris yang kasar dan otentik.

Musiknya tidak dramatis, tetapi menghantui. Soundtrack di susun untuk menekankan rasa sepi dan kehilangan. Dalam banyak adegan, dialog di gantikan dengan ekspresi dan suara lingkungan: langkah kaki, hujan beton di London, atau teriakan jarak jauh.


Film Sci-Fi Tanpa CGI Berlebihan

Satu hal menarik dari The Kitchen adalah keberaniannya untuk tidak bergantung pada CGI atau efek futuristik. Tidak ada mobil terbang atau teknologi absurd. Yang ada adalah dunia nyata yang di perburuk oleh kebijakan dan ketidakadilan. Ini membuat film terasa lebih menyentuh dan relevan. Seolah berkata: “Dunia ini tidak jauh dari kita. Mungkin sudah mulai.”


Akhir yang Menggantung, Namun Penuh Makna

Tanpa memberikan spoiler utuh, film ini berakhir tanpa resolusi yang jelas. Nasib Izi dan Benji tidak di jelaskan. Apakah mereka selamat? Apakah mereka berhasil keluar dari The Kitchen? Kaluuya memberi kita ruang untuk berpikir: mungkin harapan tidak harus di bungkus dengan pelarian atau kemenangan, tapi cukup dengan kebersamaan dan perlawanan kecil.


Kritik dan Apresiasi: Film yang Tidak Untuk Semua Orang

Film ini mendapat rating rendah di IMDb (sekitar 4.8/10), sebagian besar karena banyak penonton berharap film aksi sci-fi konvensional. Tapi bagi penonton yang terbuka pada drama sosial dan narasi lambat, The Kitchen adalah pengalaman sinematik yang kuat dan penuh rasa.

Kritikus memuji keberanian film ini dalam menampilkan isu sosial tanpa bumbu Hollywood. Namun beberapa mengkritik alur yang terlalu lambat dan kurang klimaks. Terlepas dari itu, The Kitchen bukan film untuk dilupakan. Ia menancap, seperti puisi muram dari kota yang menghapus manusianya.


Sebuah Refleksi Masa Depan dari Luka Hari Ini

The Kitchen (2023) bukan sekadar film, melainkan refleksi sosial yang menyayat. Di balik bangunan tua dan wajah lelah para tokohnya, ada pesan yang sangat manusiawi: kita semua butuh tempat untuk merasa di terima. Dan selama masih ada orang yang berani peduli—meski hanya dua orang seperti Izi dan Benji—harapan tidak pernah benar-benar mati.


FAQ Seputar Film The Kitchen (2023)

Q: Apakah film ini cocok untuk semua umur?
A: Tidak. Film ini di klasifikasikan R karena tema dewasa, kekerasan, dan bahasa kasar.

Q: Apakah ini film aksi?
A: Bukan. Film ini lebih merupakan drama sosial dengan latar distopia futuristik.

Q: Apakah ini film keluarga?
A: Tidak. Tema dan nuansanya cukup berat dan gelap, tidak cocok untuk anak-anak.

Q: Di mana bisa menonton The Kitchen?
A: Saat ini tersedia di Netflix global sejak Januari 2024.

Q: Apa pesan utama film ini?
A: Bahwa rumah bukan sekadar bangunan—tapi tempat yang menerima kita, apa adanya.