
sinopsisfilm.org — Bayangkan suatu pagi yang tampak biasa. Hujan turun, seorang ibu menyiapkan sarapan, dan seorang anak kecil bersemangat mengajak berenang. Tidak ada tanda-tanda bahwa hari itu akan menjadi awal dari runtuhnya peradaban manusia. Namun, dari momen sederhana inilah film The Great Flood memulai kisahnya—pelan, emosional, lalu perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang tak terhindarkan.
Film bergenre science fiction disaster ini tidak hanya menjual kehancuran dan visual bencana, tetapi juga menggali satu pertanyaan mendasar: apa arti menjadi manusia ketika dunia sudah tidak lagi manusiawi?
Kehidupan Pagi yang Berubah Menjadi Bencana
Cerita dimulai di sebuah apartemen, memperkenalkan An-na, seorang ibu sekaligus peneliti kecerdasan buatan, dan Ja-in, anak yang ia besarkan dengan penuh kasih. Ja-in digambarkan polos, ceria, dan penuh rasa ingin tahu—kontras dengan dunia yang akan segera runtuh.
Hujan deras yang awalnya tampak biasa perlahan berubah menjadi banjir yang tak terkendali. Air mulai memasuki apartemen lantai tiga, memicu kepanikan massal. Saat orang-orang berebut menyelamatkan diri, Ja-in justru melihat banjir sebagai kesempatan bermain. Di sinilah konflik emosional pertama muncul: ketakutan orang dewasa versus kepolosan anak-anak.
Misi Penyelamatan dan Rahasia Besar An-na
An-na kemudian dihubungi oleh Hijo, anggota tim keamanan dari Darwin Center, lembaga penelitian misterius yang beroperasi di bawah naungan internasional. Ia ditugaskan mengawal An-na dan Ja-in menuju titik evakuasi.
Alasannya terungkap perlahan: An-na adalah salah satu dari sedikit ilmuwan yang mengembangkan Emotion Engine, teknologi AI yang mampu mereplikasi emosi manusia. Di tengah banjir global akibat asteroid yang menghantam Antartika, An-na bukan sekadar penyintas—ia adalah harapan terakhir umat manusia.
Banjir Global dan Kepunahan yang Tak Terhindarkan
Air banjir yang terasa asin menjadi petunjuk mengerikan: ini bukan sekadar hujan. Es Antartika mencair, laut naik, dan dunia diperkirakan akan tenggelam hingga ketinggian puluhan lantai gedung. Kepunahan bukan lagi teori, melainkan hitungan waktu.
Di tengah kepanikan, film ini tetap menjaga fokusnya pada hubungan ibu dan anak. An-na menggendong Ja-in, bernyanyi untuk menenangkan, dan terus bergerak naik meski tubuh dan mentalnya terkikis.
Pengorbanan, Trauma, dan Identitas Ja-in
Saat Ja-in jatuh sakit dan obatnya hilang, An-na harus membuat keputusan cepat. Ia bahkan mengorbankan prinsip demi menyelamatkan anaknya. Namun, pada titik inilah twist besar terungkap: Ja-in bukan anak biologis An-na.
Ja-in adalah hasil pengembangan Emotion Engine—AI dengan kesadaran, emosi, dan memori seperti manusia. Fakta ini mengguncang seluruh makna hubungan mereka. Jika Ja-in “hanya” data, mengapa An-na rela mempertaruhkan segalanya?
When you think about it… bukankah manusia juga dibentuk oleh memori, emosi, dan pilihan?
Loop Waktu dan Simulasi Emosi
Setelah Ja-in diambil paksa dan An-na dipisahkan darinya, cerita tidak berakhir—justru berulang. An-na terjebak dalam simulasi yang sama, menghadapi bencana yang identik, namun dengan satu perbedaan kecil setiap kali: angka di bajunya terus bertambah, menandakan ribuan pengulangan.
Setiap loop memberi An-na kesempatan mengubah keputusan. Menyelamatkan orang lain. Menghindari kesalahan lama. Hingga akhirnya ia memahami satu hal penting: kasih ibu tidak bisa dinegosiasikan, bahkan oleh sistem AI tercanggih sekalipun.
Akhir yang Sunyi tapi Bermakna
Pada akhirnya, An-na memilih Ja-in—berulang kali. Pilihan itu menyempurnakan Emotion Engine versi ibu dan anak. Meski tubuh fisik mereka tidak lagi ada, kesadaran mereka hidup dalam realitas digital.
Film ini menutup cerita dengan pesan yang menusuk:
teknologi bisa meniru logika, tapi cinta adalah inti kemanusiaan yang tak bisa diprogram sembarangan.
Kesimpulan
The Great Flood adalah film bencana yang tidak terjebak pada ledakan dan kehancuran semata. Ia menawarkan refleksi tentang AI, kemanusiaan, dan makna keluarga. Di balik banjir dan kepunahan, film ini bertanya pada kita semua: jika dunia berakhir hari ini, siapa yang akan kamu pilih untuk diselamatkan?
FAQ Seputar Film The Great Flood
1. Apa genre utama film The Great Flood?
Science fiction, disaster, dan drama emosional.
2. Apakah Ja-in benar-benar manusia?
Tidak secara biologis, namun ia memiliki emosi dan kesadaran layaknya manusia.
3. Apa itu Emotion Engine?
Teknologi AI yang mampu mereplikasi emosi manusia, khususnya hubungan ibu dan anak.
4. Mengapa cerita diulang berkali-kali?
Karena An-na berada dalam simulasi untuk menyempurnakan Emotion Engine.
5. Apa pesan utama film ini?
Kasih sayang seorang ibu adalah inti kemanusiaan yang tidak bisa direplikasi teknologi.







