12 Oktober 2025

sinopsisfilm.org – The Thing with Feathers adalah film drama fantasi bergenre gelap yang disutradarai oleh Dylan Southern, diadaptasi dari novel Grief Is the Thing with Feathers karya Max Porter. Film ini dibintangi oleh Benedict Cumberbatch sebagai sosok ayah yang berjuang menghadapi kematian mendadak istrinya, dan bagaimana kesedihan itu mengambil wujud—wujud yang menakutkan, tetapi sekaligus memaksa keluarga itu menerima kenyataan hidup baru.

Film ini pertama kali diputar di Sundance Film Festival 2025 pada 25 Januari 2025. Versi Eropa-nya tampil di Berlinale pada 18 Februari 2025. Rilis regulernya di Inggris dan Irlandia dijadwalkan 31 Oktober 2025.

Berikut adalah sinopsis panjang cerita, lalu kita kupas tema dan unsur pentingnya.


Latar & Premis Awal

Setelah kematian mendadak istrinya, seorang ayah (Dad) harus memikul beban menggantikan peran sebagai orang tua tunggal untuk dua putranya yang masih kecil. Kehidupan sehari-hari mereka—yang dulu sederhana, penuh kehangatan—sekarang terpecah oleh duka dan kesunyian.

Seiring waktu berjalan, duka yang “tak tertangani” mulai merusak batas antara kenyataan dan imajinasi. Dalam bentuk keanehan, muncul sosok Crow (gagak)—makhluk manusiawi dengan ukuran besar, sosok bayangan yang mengintai, berbicara, menggoda, dan kadang memeluk ibarat pelindung. Apakah Crow nyata? Atau sekadar manifestasi trauma dan kesedihan sang ayah?

Manifestasi gagak itu menghantui kuil rumahnya—ruang tamu, kamar anak, lorong gelap… dan mungkin, setiap sudut ingatan masa lalu yang masih keras kepala tidak mau dilepas.


Alur Cerita & Konflik

Berikut garis besar narasi film:

1. Kehilangan & Kekacauan Awal

Kehidupan keluarga tiba-tiba berubah ketika istri/ibu meninggal secara tak terduga. Ini adalah kejadian pemicu yang membuat ayah terpuruk. Duka tidak datang perlahan — ia datang keras, membawa rasa bersalah, kenangan, dan kegagapan dalam rutinitas sehari-hari.

Dalam rumah mereka, hal-hal sederhana menjadi sulit: menyiapkan sarapan, mengantar anak ke sekolah, menjawab pertanyaan anak, merespons rasa takut mereka — semuanya sekarang terasa seperti medan ranjau emosional.

2. Gangguan Crow & Ambiguitas Realita

Crow muncul secara perlahan — kadang sebagai bayangan, kadang sebagai figur monumental menyelinap di sudut ruangan. Ia berbicara kepada ayah, menantang, menggoda, memperingatkan. Kadang ia memperlihatkan sisi pelindung, kadang menyakitkan — garis antara sahabat dan gangguan kabur.

Kehadirannya memicu pertanyaan: apakah Crow bagian dari dunia nyata atau manipulasi keji dari pikiran yang terhimpit duka? Dan apakah anak-anak pun melihat atau merasakan keberadaannya?

3. Upaya “Normalisasi” & Proses Pemulihan

Ayah, dalam keputusasaannya, mencoba mempertahankan rutinitas agar kehidupan terlihat normal. Tapi Crow terus “menyusup” ke keseharian mereka, memunculkan kenangan lama, luka yang belum sembuh, dan konfrontasi batin.

Ia kadang membajak lukisan-lukisan ayah (karena ayah juga seorang ilustrator/gambar) — karya-karya berwarna gelap/abstrak yang seolah mencerminkan inner turmoil-nya.

Konflik memuncak ketika ayah mencapai titik jenuh: ia takut kehilangan ingatan istrinya, khawatir gagal menjadi ayah yang baik, dan merasa tergoda menyerah pada kesunyian.

4. Klimaks & Titik Tegang Emosional

Dalam puncak dramatis, Crow menuntut agar keluarga berhadapan langsung dengannya — bukan sebagai sosok penakut bayangan, tapi sebagai “teman duka” yang ia ciptakan sendiri. Adegan-adegan simbolik (termasuk momen Crow merangkul keluarga di sofa) muncul sebagai metafora bahwa duka mesti diterima, bukan diusir paksa

Kehadiran Crow menjadi penghubung antara masa lalu istri yang tiada dan anak-anak yang masih hidup — sebuah peringatan bahwa kenangan dan kasih sayang tidak hilang, hanya berubah bentuk.

5. Resolusi & Bentuk Baru Kehidupan

Pada akhirnya, Crow “lebih manusiawi daripada monster”. Hubungannya dengan keluarga tidak harus saling menguasai; duka bukan untuk dihapus tapi untuk diolah. Dalam akhir yang terbuka, ayah dan anak-anak mulai membangun kehidupan baru—bukan melupakan, tapi menerima bahwa kehilangan adalah bagian dari perjalanan mereka.


Tema & Analisis

Duka sebagai Keberadaannya Sendiri

Film ini tidak melihat duka sebagai kelemahan, melainkan entitas yang ambisius — kadang merusak, kadang merawat. Crow mewakili fragmen kenangan dan emosi yang sulit dibicarakan.

Realita vs Fantasi: Konflik Batin

Kehadiran elemen supranatural (Crow) membuat film ini berada di perbatasan realita dan mimpi — seperti film horor psikologis The Babadook, tapi dengan nuansa terapi emosional. Kritik dari The Guardian menyebut adaptasi ini kadang merasa antara fantasi & kenyataan dan kurang meyakinkan sepenuhnya di kedua level tersebut.

Anak-anak & Perspektif Mereka

Anak-anak di film ini bukan hanya figur pasif. Mereka merasakan kehilangan, bertanya “kenapa ibu pergi?”, dan mungkin juga merasakan Crow dalam cara mereka sendiri. Hubungannya dengan ayah adalah jembatan emosional antara generasi yang sama-sama berduka.

Seni & Ekspresi sebagai Proses Penyembuhan

Ayah sebagai ilustrator (penggambar) menerjemahkan kesedihan lewat karyanya. Lukisan-lukisan gelap / garis hitam laut Crow menjadi cara dia berkomunikasi dengan pikirannya sendiri.

Identitas & Keberlanjutan Keluarga

Pertanyaan terbesar: setelah kehilangan, apakah keluarga masih punya identitas? Crow membantu membentuk ulang identitas itu—bukan kembali ke masa lalu, melainkan menjalin masa depan dengan cinta yang tetap hidup meski kehilangan.


Catatan Produksi & Fakta Menarik

  • Film ini adalah debut naratif Dylan Southern (sebelumnya dikenal lewat dokumenter)

  • Durasi film kira-kira 104 menit.

  • Dalam adaptasi, Crow diperankan oleh Eric Lampaert secara fisik, sedangkan suaranya oleh David Thewlis.

  • Benedict Cumberbatch tidak hanya berperan sebagai aktor utama (Ayah) tetapi juga ikut sebagai produser melalui rumah produksi-nya, SunnyMarch.

  • Sutradara dan penulis naskah: Dylan Southern.

  • Adaptasi ini secara spesifik menghormati petikan estetika dari buku: misalnya adegan John Coltrane poster yang pecah sebagai simbol kemarahan anak terhadap ayah dan duka. Max Porter sendiri memuji detail ini dalam Q&A.

  • Untuk visual, kamera sering mengambil format 4:3 agar menghadirkan suasana pengap dan intens dramatis di ruang rumah yang sempit.

  • Film mendapat dukungan dana dari British Film Institute melalui Filmmaking Fund.

  • Kritikus beragam tanggapan: The Guardian menyebut adaptasi terasa “antara fantasi & realita” dan kurang konsisten secara tonal. Sebaliknya, beberapa review memuji penampilan emosional Cumberbatch dan atmosfer filmnya.


Keunggulan & Kelemahan

Kelebihan

  • Penampilan Cumberbatch sangat mendalam dan penuh nuansa.

  • Atmosfer horor psikologis yang halus — film tidak bergantung pada jumpscare, melainkan ketegangan emosional.

  • Adaptasi simbolis dari gimmick buku (Crow sebagai metafora) dipertahankan dan dikembangkan secara visual.

  • Banyak momen kecil yang menghantam secara emosional, dan direktur menunjukkan kepekaan terhadap detail persepsi dan pengalaman duka.

Kelemahan / Kritik

  • Beberapa kritik menyebut bahwa Crow sebagai figur literal kadang terasa klise atau terlalu dramatis, mengalihkan fokus dari inti cerita manusiawi.

  • Tonal film kadang goyah: antara fantasi dan realita, kadang sulit menentukan apakah adegan itu “nyata” atau “halusinasi.”

  • Adaptasi menyederhanakan beberapa nuansa novel, sehingga kompleksitas internal duka kadang terasa agak “datar.”

  • Beberapa orang menyebut dialog atau setting Crow terlalu teatrikal atau “berlebihan.”


Pesan & Relevansi

Film ini berusaha menyampaikan pesan bahwa berduka bukanlah kelemahan, melainkan proses panjang yang mengubah siapa kita. Crow bukan musuh utama; ia bagian dari diri yang terbelah, memanggil guna menyembuhkan.

Dalam konteks modern—di mana masyarakat sering “menuntut cepat sembuh”—film ini menegaskan bahwa kehilangan memerlukan ruang, pengakuan, dan pertarungan batin.

Bagi penonton, film ini mengajak refleksi: bagaimana kita berinteraksi dengan kenangan? Apakah kita lari dari duka, atau berani menghadapi bayangan untuk tumbuh?