
guillermo del toro frankenstein
sinopsisfilm.org – Lebih dari dua abad lalu, Mary Shelley menulis Frankenstein; or, The Modern Prometheus (1818), sebuah kisah tentang sains, ambisi, dan konsekuensi moral. Kini, sutradara visioner Guillermo del Toro menghadirkan reinterpretasi sinematik dengan sentuhan khas gotik, penuh visual memukau sekaligus kengerian filosofis.
Film ini mengusung bintang papan atas: Oscar Isaac sebagai ilmuwan Victor Frankenstein, Jacob Elordi sebagai makhluk ciptaannya, dan Christoph Waltz dalam peran misterius yang menguji batas moral keduanya. Bagaimana kisah klasik ini diterjemahkan kembali di layar lebar?
Akar Cerita: Mary Shelley dan Modern Prometheus
Mary Shelley menulis Frankenstein pada usia 18 tahun, saat berlibur di Jenewa bersama Lord Byron. Novel ini bukan sekadar cerita horor, melainkan refleksi tentang:
Bahaya ambisi ilmiah tanpa etika.
Pertanyaan: “Apakah manusia berhak bermain sebagai Tuhan?”
Kesepian, alienasi, dan pencarian identitas makhluk ciptaan.
Del Toro, yang dikenal lewat Pan’s Labyrinth dan The Shape of Water, selalu tertarik pada monster tragis. Frankenstein baginya adalah simbol makhluk yang salah dipahami, lebih manusiawi daripada sang penciptanya.
Sinopsis Film Frankenstein (2025)
Awal: Obsesi Victor Frankenstein
Victor Frankenstein (Oscar Isaac) digambarkan sebagai ilmuwan brilian dari Geneva. Didorong oleh rasa kehilangan pribadi dan obsesi menantang kematian, ia terobsesi menciptakan kehidupan dari jasad mati.
Eksperimen gelapnya berpuncak pada malam badai. Dengan aliran listrik dan teknologi aneh, ia berhasil menghidupkan kembali makhluk (Jacob Elordi). Namun bukannya kegembiraan, Victor justru diliputi ngeri melihat wujud ciptaannya: tubuh tambal sulam, tinggi menjulang, wajah penuh bekas jahitan.
Konflik: Makhluk yang Terbuang
Makhluk itu, tanpa nama, melarikan diri. Ia belajar berbicara, membaca, dan memahami dunia. Tapi di manapun ia pergi, manusia menolaknya. Kesepian mendorongnya mencari sang pencipta untuk menuntut jawaban.
Di sisi lain, Victor mencoba melupakan ciptaannya dan kembali ke kehidupan normal. Namun bayangan makhluk itu terus menghantuinya.
Klimaks: Tuntutan dan Tragedi
Makhluk menemukan Victor dan memohon: “Ciptakan pasangan untukku, agar aku tidak sendiri.” Victor awalnya setuju, namun rasa takut menguasainya. Ia menghancurkan eksperimen kedua, memicu kemarahan besar makhluk.
Tragedi pun tak terelakkan. Kematian orang-orang terdekat Victor terjadi, membuatnya terjebak dalam spiral rasa bersalah.
Akhir: Kematian & Kesepian Abadi
Kisah berakhir di kutub utara, tempat Victor mengejar ciptaannya. Namun ilmuwan itu runtuh, meninggal karena kelelahan. Sang makhluk, melihat penciptanya mati, dilanda duka mendalam. Ia memilih mengasingkan diri, berjalan ke kegelapan es abadi.
Analisis Tema Utama
Ambisi Ilmiah vs Moralitas
Victor mencerminkan sisi tergelap manusia: keinginan melampaui batas alam tanpa memikirkan akibat.Kesepian & Alienasi
Makhluk bukan monster karena jahat, melainkan karena ditolak. Ia hanya ingin dicintai dan diterima.Manusia atau Monster?
Del Toro menekankan: siapakah monster sebenarnya? Victor yang egois, atau makhluk yang penuh luka batin?Cinta & Kehilangan
Dorongan Victor lahir dari trauma kehilangan, tapi cintanya berubah jadi obsesi merusak.
Guillermo del Toro: Sentuhan Visual & Filosofis
Del Toro selalu melihat monster sebagai simbol kemanusiaan. Dalam The Shape of Water, ia membuat penonton jatuh cinta pada makhluk amfibi. Di Frankenstein, ia membalikkan perspektif: makhluk adalah cermin sisi tergelap sekaligus sisi rapuh manusia.
Gaya visual gotik penuh detail — kastil remang, laboratorium eksentrik, lanskap bersalju — akan jadi kekuatan utama film ini.
Peran Para Bintang
Oscar Isaac (Victor Frankenstein): mampu memadukan kecerdasan, kesombongan, dan rapuhnya seorang pria yang hancur oleh ambisinya.
Jacob Elordi (Makhluk): tinggi menjulang, karismatik, tapi penuh luka. Cocok menggambarkan kontradiksi antara kekuatan fisik dan kelembutan hati.
Christoph Waltz: diduga berperan sebagai Profesor Waldman, mentor Victor yang mengingatkan tentang batas etika, atau mungkin figur antagonis baru yang menambah kedalaman cerita.
Perbandingan dengan Adaptasi Sebelumnya
Frankenstein sudah diadaptasi puluhan kali, dari film hitam putih Boris Karloff (1931), versi gotik Kenneth Branagh (1994), hingga serial modern. Bedanya:
Versi Del Toro fokus pada sisi tragis makhluk.
Filosofi Shelley akan tetap jadi tulang punggung, bukan sekadar horor monster.
Karakter makhluk diperankan aktor muda (Elordi), yang menekankan sisi rentan.
Refleksi Filosofis: Frankenstein di Era Modern
Cerita ini tetap relevan karena:
Dunia kini dikepung isu AI, bioteknologi, dan eksperimen genetika.
Pertanyaan Shelley 200 tahun lalu masih sama: “Bolehkah manusia menciptakan kehidupan?”
Frankenstein adalah alegori tentang sains tanpa tanggung jawab sosial.
Sinopsis Frankenstein versi Guillermo del Toro menghidupkan kembali kisah Mary Shelley dengan energi baru: perpaduan horor gotik, drama psikologis, dan refleksi filosofis. Dengan Oscar Isaac sebagai ilmuwan ambisius, Jacob Elordi sebagai makhluk tragis, dan Christoph Waltz sebagai figur moral, film ini berpotensi jadi salah satu adaptasi Frankenstein paling kuat sepanjang sejarah.
Pada akhirnya, Frankenstein bukan hanya tentang monster. Ia tentang kita — manusia dengan ambisi, rasa takut, dan kebutuhan akan cinta.